- Back to Home »
- Berita Islami , Catatan »
- APBN 2016: Cermin Rezim Anti Subsidi dan Gemar Berutang
APBN 2016 telah disetujui oleh DPR. Besaran anggaran belanja APBN
2016 mencapai Rp 2.095,72 trliliun. Anggaran pendapatan direncanakan
sebesar Rp 1.822,54 triliun dengan rencana defisit sebesar Rp 273,178
triliun atau 13,1 persen.
Beban pajak Rakyat Makin Berat
APBN 2016 bertumpu pada pendapatan pajak dan cukai. Direncanakan, penerimaan pajak
Rp 1.360,1 triliun atau 74,6 persen serta penerimaan bea dan cukai Rp
186,5 triliun atau 10,23 persen. Total penerimaan perpajakan itu Rp
1.546,6 triliun atau 84,8 persen dari penerimaan APBN 2016.
pajak
makin dijadikan sandaran penerimaan negara. Sebaliknya, penerimaan dari
sumberdaya alam dan BUMN justru tidak dioptimalkan. Ini sungguh aneh!
Pasalnya, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat besar dan BUMN
yang jumlahnya 130 lebih. Namun, sumbangan penerimaan dari hasil
kekayaan alam dan BUMN justru tidak dinaikkan.
Target penerimaan pajak yang makin besar itu terlalu pede. Pasalnya, dalam perekonomian yang melambat, optimisme penerimaan pajak dengan basis asumsi seolah-olah ekonomi
berjalan normal jelas kurang sejalan. Perusahaan dan pelaku usaha akan
sulit ditingkatkan pungutan pajaknya dalam situasi perekonomian
melambat. Selama lima tahun ini saja, realisasi penerimaan pajak tidak pernah mencapai target. Untuk tahun 2015 ini, Direktorat Jenderal pajak (DJP) mencatat realisasi penerimaan pajak
per 4 November 2015 hanya mencapai Rp 774,5 triliun, setara 59,8 persen
dari target Rp 1.294,3 triliun. Padahal tahun ini tinggal satu setengah
bulan lagi. Untuk mencapai realisasi target 80 persen saja tentu sulit.
Untuk merealisasi target penerimaan pajak pada 2016 itu bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan perluasan wajib pajak, dengan memperbanyak individu dan perusahaan yang membayar pajak. Pihak yang selama ini mendapat fasilitas keringanan pajak
seperti UMKM, sektor informal, dan sebagainya mungkin tidak akan ada
lagi. Pelaku usaha kecil dan menengah seperti pedagang pasar, toko
kelontong, warung dan sejenisnya mungkin akan dikenai pajak.
Kedua, dengan mengatur besaran pajak dan cara penghitungan pajak. Kemungkinan penghasilan akan dikenai pajak progresif yang nilainya akan makin besar. Yang termasuk dalam cara ini adalah mengubah penghitungan pajak menjadi dari total omset, bukan dari penghasilan riil, yakni keuntungan dari usaha.
Peningkatan penerimaan pajak itu bermakna, beban bagi rakyat akan makin besar. Padahal selama ini beban rakyat sudah amat berat.
Di sisi lain, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat besar.
Misal, cadangan terbukti yang dikuasai Freeport saja total potensi
pendapatannya bisa mendekati Rp 2.000 triliun. Ini baru dari satu
tambang. Sayang, kekayaan yang besar itu bukannya dimaksimalkan untuk
penerimaan negara dengan dikuasai dan dikelola langsung oleh negara,
tetapi malah diserahkan kepada swasta bahkan asing. Ironis! Rakyat
diharuskan menanggung pembiayaan negara—antara lain lewat pajak—yang
makin berat, pada saat yang sama kekayaan sangat besar milik rakyat
justru diserahkan kepada swasta/asing. Ini jelas pengkhianatan terhadap
rakyat. Pengkhianatan itu secara sadar dilakukan oleh penguasa, para wakil rakyat dan politisi. Sungguh hal itu dalam pandangan Islam merupakan kemaksiatan. Rasul saw. bersabda:
« مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرعِيهِ اللهُ رَعِيَّة، يَموتُ يَوْمَ يَمُوتُ وهو غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلا حَرَّمَ اللهُ عليه الجَنَّةَ»
Tidaklah seorang hamba yang Allah angkat untuk mengurusi urusan rakyat itu mati pada hari dia mati, sementara dia menipu (mengkhianati) rakyat, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari dan muslim).
Rezim Anti Subsidi
Total subsidi pada APBN
2016 hanya sebesar Rp 182,6 triliun. Subsidi energi hanya sebesar Rp
102,1 triliun, terdiri dari subsidi BBM dan gas sebesar Rp 63,7 triliun
serta subsidi listrik sebesar Rp 38,4 triliun. Subsidi listrik itu turun
37,6 triliun dari APBN-P 2015 yang Rp 76 triliun. Artinya, subsidi listrik pada APBN 2016 dipangkas 49,47 persen dari APBN-P
2015. Dari subsidi listrik 38,4 triliun itu hanya sekitar Rp29,39
triliun untuk subsidi berdaya 450 VA-900 VA yang selama ini masih
mendapat subsidi. Sisanya adalah untuk membayar kurang bayar (carry over) tahun ini.
Akibat dari pemangkasan subsidi listrik itu, pemerintah
hanya akan memberikan subsidi listrik untuk rumah tangga pengguna 450VA
dan 900VA yang terkategori miskin. Berdasarkan catatan Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pelanggan listrik yang
boleh memakai dua klasifikasi tersebut hanya mencapai 24,7 juta rumah
tangga. Dengan begitu, dari 45 juta rumah tangga pengguna 450VA dan
900VA, sebanyak 22,3 juta rumah tangga pada tahun 2016 tidak lagi boleh
menerima subsidi. Mereka diberi pilihan untuk naik daya ke 1300VA secara
gratis. Jika tidak, mereka harus membayar harga listrik tanpa subsidi.
Untuk pengguna 450VA akan mengalami kenaikan tarif 250 persen dan
pengguna 900VA akan naik 150 persen!
Awalnya, skenario itu akan diterapkan mulai 1 Januari 2016, namun
akhirnya ditunda setidaknya enam bulan. Artinya, itu akan diberlakukan
pada Juli 2016. Ditjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM memastikan
menunda pencabutan subsidi tarif dasar listrik hingga enam bulan
mendatang.
Penghapusan subsidi tarif listrik itu akan menambah jumlah penduduk
miskin. Menurut Kepala BPS, Suryamin, penghapusan subsidi listrik secara
otomatis akan semakin menekan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Penghapusan subsidi tarif listrik itu bakal menyumbang inflasi nasional
sekitar 0,4 persen.
Menurut Riyanto, peneliti ekonomi dari Lembaga Penyelidikan ekonomi
dan Masyarakat (LPEM) Univeritas Indonesia, jika tarif dasar
listrik naik maka orang miskin bertambah 3-5 juta orang. Berdasarkan
BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2015 mencapai 28,59
juta jiwa.
Subsidi pupuk juga dipangkas Rp 9,4 T dari Rp 39,9 T pada APBN 2015 menjadi Rp 30 T di RAPBN 2016. Akibatnya, harga eceran tertinggi (HET) pupuk akan dinaikkan.
Penghapusan subsidi pada APBN secara terus-menerus membuktikan bahwa pemerintah
dan DPR selama ini anti subsidi. Penghapusan subsidi itu akan makin
memberatkan beban rakyat yang sudah sangat berat. Sungguh tindakan
demikian menyalahi syariah Islam. Bahkan Rasul saw. pernah berdoa:
« اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئاً فَشَقَّ
عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى
شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ »
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi suatu urusan umatku, lalu dia
menyusahkan mereka, maka susahkan dia. Siapa saja yang mengurusi suatu
urusan umatku, lalu dia menyayangi mereka, maka sayangilah dia (HR muslim dan Ahmad).
Gemar Menumpuk Utang
APBN 2016 dianggarkan defisit Rp 273,178 triliun atau 13,1 persen. Untuk menutup defisit (kekurangan) itu, pemerintah
merencanakan akan menarik utang melalui Surat Berharga Negara (SBN)
sebesar Rp 326,3 triliun, utang dalam negeri Rp 3,3 triliun dan utang
luar negeri Rp 72,84 triliun. Hal itu hanya akan membuat negeri ini
terjerat utang makin dalam.
Dari data Profil Utang pemerintah
Pusat edisi Agustus 2015, total cicilan bunga tahun 2009-2014 ditambah
cicilan pokok 2014 dan APBNP 2015 saja mencapai Rp 1.107,556 triliun.
Meski sudah begitu besar cicilan pokok dan bunga yang dibayar, nyatanya
total utang pemerintah
bukan berkurang, tetapi malah terus membengkak. Data Profil Utang
Pemeirntah Pusat edisi Oktober 2015 menunjukkan, hingga 30 September
2015, total utang pemerintah Pusat Rp 3.091,06 triliun.
Semakin besar utang berarti makin besar bahaya bagi negeri ini.
Pasalnya, selama ini utang luar negeri menjadi alat campur tangan dan
kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah.
Artinya, utang menjadi alat penjajahan asing, antara lain dengan
mendiktekan UU di negeri ini sesuai keinginan mereka, bahkan sejak
pembuatan draft-nya. Lahirlah banyak UU bercorak liberal yang lebih menguntungkan mereka dan merugikan rakyat.
Selain itu, saat utang makin menumpuk, APBN yang notabene uang rakyat
makin tersedot untuk bayar utang plus bunganya. Semua itu adalah untuk
kepentingan para pemilik modal, termasuk pihak asing. Sebaliknya,
alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat, khususnya dalam bentuk
subsidi, terus dikurangi bahkan bakal dihilangkan sama sekali.
Wahai Kaum muslim:
sistem anggaran neoliberal yang anti subsidi dan gemar berutang harus sesegera mungkin disudahi. Sesegera mungkin sistem ini harus diganti dengan sistem
anggaran yang bisa menjamin kekayaan milik rakyat digunakan untuk
kesejahteraan rakyat, bukan lebih banyak untuk kesejahteraan swasta dan
asing. sistem anggaran yang demikian hanya akan terwujud dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sekaligus menerapkan syariah Islam secara total dan menyeluruh dalam institusi negara. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ …[
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian…” (TQS al-Anfal [8]: 24).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
[Al-Islam edisi 781, 8 Shafar 1437 H – 20 November 2015 M]
sumber